1.1 Latar Belakang
Bahan bakar minyak adalah urat nadi kehidupan--seperti darah yang mengalirkan oksigen ke dalam tubuh. Kehidupan bisa macet tanpa bahan bakar. Sayang, cadangannya yang menipis, biaya eksplorasi yang kian mahal, serta dampak lingkungan dan geopolitik di negara produsen minyak yang selalu memanas membuat era BBM murah berakhir. Ini merupakan kabar buruk bagi Indonesia sebagai negara nett importer.
Krisis energi dunia pada paruh kedua tahun ini yang tergolong parah dan melanda seluruh negara di dunia telah membangkitkan keyakinan bahwa bioenergi merupakan alternatif pemecahan hal tersebut. Sementara harga minyak bumi yang melambung belakangan ini dengan sendirinya membangkitkan insentif ekonomi bagi pengembangan bionergi sebagai alternatif lain dari fosil energi yang kian mahal dan langka. Insentif itu juga timbul karena semakin besarnya perhatian negara-negara dunia pada persoalan lingkungan hidup akibat pencemaran yang kian parah, yang timbul dari emisi gas buang penggunaan fosil energi. Keunggulan bionergi yang utama adalah renewable dan dampak penggunaannnya terhadap lingkungan hidup jauh lebih ramah dari penggunaan fosil energi selama ini.
Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang menghadapi persoalan energi yang serius akibat ketergantungan yang sangat besar terhadap energi fosil, sementara pengembangan bioenergi sebagai alternatif masih kurang mendapat perhatian. Sesungguhnya potensi Indonesia untuk mengembangkan bioenergi relatif besar, baik bioetanol maupun biodisel.
Salah satu potensi yang relatif besar adalah pengembangan bioetanol berbahan baku tebu. Dengan asumsi 80 liter bioetanol dapat dihasilkan dari 1 ton tebu (data teknis di Brazil) dan produktivitas tebu rata-rata 80 ton per ha, maka dari setiap ha lahan tebu dapat dihasilkan 6.400 liter etanol. Apabila etanol dari tebu dapat mensubstitusi 10% dari kebutuhan gasoline pada tahun 2010 (33,4 milyar liter), maka target tersebut bisa dicapai dengan pengembangan areal tebu seluas 522 ribu ha. Dengan target subsitusi tersebut, jumlah gasoline yang dapat disubstitusi sebesar 3.34 milyar liter atau lebih dari Rp 15 triliun. Data survey menunjukkan ketersediaan lahan di luar Jawa yang sesuai untuk tebu terdapat sekitar 750 ribu ha, disamping potensi arael existing industry seluas 420 ribu ha (areal tebu Indonesia tahun 1993/1994)
Etanol yang berasal dari tebu dalam beberapa hal lebih prospektif dibanding tanaman lain. Data Lamlet (Latin America Thematic Network on Bioenergy) menunjukkan biaya produksi etanol paling murah. Untuk setiap m3 etanol yang dihasilkan dari tebu diperlukan biaya $160. Bandingkan dengan sumber lain. Dari jagung, misalnya, untuk jumlah yang sama perlu $ 250-420, dari gandum $ 380- 480, dari kentang $ 800-900, dari singkong $ 700, dan dari gula bit $300-400. Produksi etanol asal tebu butuh energi relatif sedikit. Rasio output/input energi etanol dari tebu sekitar 2,5.9,0. Sementara dari jagung 1,3, sorgum manis Etanol dari Tebu . Aris Toharisman (P3GI Pasuruan) 3 2,5-5,0, dan gula bit 1,76. Selain itu, reduksi emisi CO2 dalam hal pemakaian etanol asal tebu sebagai substitusi premium mencapai 50-90%. Untuk etanol dari jagung hanya 20-40% dan gula bit 30-50%.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi fokus permasalahan dalam program ini adalah :
Usaha apa yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan kelangkaan bahan bakar?
Bagaimanakah cara membuat etanol dari ampas tebu untuk digunakan sebagai biodiesel?
Upaya apa yang akan dilakukan untuk dapat mensosialisasikan atau memasyarakatkan etanol dari ampas tebu untuk digunakan sebagai biodiesel?
Tujuan Penelitian
Melakukan usaha untuk mengatasi permasalahan kelangkaan bahan bakar, khususnya bahan bakar bensin
Memperkenalkan cara pembuatan bioetanol dari ampas tebu
Mensosialisasikan atau memasyarakatkan bioetanol dari ampas tebu untuk digunakan sebagai upaya penghematan bahan bakar bensin
Hasil Yang Diharapkan
Manfaat Bagi Mahasiswa
Dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam melakukan penelitian
Menambah wawasan dan pengalaman dalam upaya mengatasi kelangkaan bahan bakar
Dapat mengetahui potensi tanaman tebu sehubungan dengan penggunaannya sebagai biodiesel
Dapat mengaplikasikan dan mengembangkan ilmu yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki
Manfaat Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dalam rangka mengembangkan penelitian, khususnya mengenai tanaman tebu yang dikaitkan dengan penggunaannya sebagai biodiesel
Manfaat Bagi Lingkungan
Dapat mengurangi pencemaran lingkungan karena Biodiesel ini ramah lingkungan, karena menggeser penggunaan Tetra Ethyl Lead (TEL) yang mengandung logam berat Timbal (Pb) sebagai bahan aditif pada bensin.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan menghasilkan etanol yang terbuat dari tebu dalam penggunaannya sebagai biodiesel yang ramah bagi lingkungan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Tanaman Tebu
Tebu merupakan yang dikenal sebagai penghasil gula. Tanaman ini termasuk dalam keluarga Graminae atau rumput-rumputan dan berkembang biak di daerah beriklim udara sedang sampai panas. Tebu cocok pada daerah TEBU (Sacharum offlcinarum, Linn.) yang mempunyai ketinggian tanah 1 sampai 1300 meter di atas permukaan laut.
Di Indonesia terdapat beberapa jenis tebu, di antaranya tebu (Cirebon) hitam, tebu kasur, POJ 100, POJ 2364, EK 28, POJ 2878. Setiap jenis tebu memiliki ukuran batang serta warna yang berlainan. Tebu termasuk tumbuhan berbiji tunggal. Tinggi turnbuhan tebu berkisar 2-4 meter. Batang pohon tebu terdiri dari banyak ruas yang setiap ruasnya dibatasi oleh buku-buku sebagai tempat duduknya daun. Bentuk daun tebu berwujud belaian dengan pelepah. Panjang daun dapat mencapai panjang 1-2 meter dan lebar 4-8 centimeter dengan permukaan kasar dan berbulu. Bunga tebu berupa bunga majemuk yang berbentuk m,-t 1 ai di puneak sebuah poros gelagah. Sedang akarnya berbentuk serabut.
Etanol Dari Ampas Tebu
Etanol dari tebu bukan hanya bisa diperoleh dari tetes tetapi juga bisa berasal dari ampas (bagasse) dan daun. Ini sekaligus untuk menepis kritik soal etika berkaitan persaingan penggunaan sumber pangan dan energi. Pengunaan bahan-bahan yang bisa langsung dikonversi menjadi etanol seperti tetes, jagung, singkong, gandum, dan umbi-umbian sejauh ini menuai banyak kritik karena akan menurunkan suplai bahan pangan. Nah, kalau kembali ke tebu, maka hal tersebut bisa dihindari. Ampas (32% tebu) dan trash (14% tebu) merupakan senyawa lignoselulosa. Lignoselulosa dipecah menjadi selulosa, lignin dan hemiselulosa. Selulosa diuraikan menjadi glukosa terus menjadi etanol. Selulosa didegradasi menjadi silosa yang bisa diubah lebih lanjut menjadi silitol (silitol merupakan pemanis alternatif yang baik bagi kesehatan karena berkalori rendah dan tidak merusak gigi). Dengan cara ini, produksi etanol per ha tebu akan meningkat 2-3 kali lipat. Bila hanya mengandalkan tetes, produksi etanol per ha tebu kira-kira 1.200 liter. Dengan konversi ampas dan trash akan dihasilkan lebih dari 2.500 liter etanol per ha.
Kondisi saat ini memang belum memungkinkan konversi ampas dan trash ke etanol. Ampas di Pabrik Gula (PG) masih dipakai sebagai bahan bakar pembangkit uap. Kelebihan ampas hanya terjadi di PG yang memiliki efisiensi pengunaan energi tinggi. Bahkan di beberapa wilayah, trash pun dipakai sebagai suplesi ampas untuk bahan bakar. Meskipun bahan baku lignoselulosa relatif murah, namun konversi bahan tersebut menjadi etanol perlu teknologi lebih tinggi.
Bioetanol Sebagai Pengganti Bensin
Sejak Menteri Negara Riset dan Teknologi Dr. Kusmayanto Kadiman me-launching bahan bakar Gasohol BE-10 pada akhir Januari 2005 yang kemudian didukung dengan terjadinya kenaikan harga minyak mentah dunia sampai menyentuh US$70/barel, maka bioetanol telah mendapat publikasi yang luas melalui berbagai media cetak dan elektronik maupun pada pameran-pameran yang digelar pada tahun ini. Reaksi masyarakat sangat beragam, mulai dari yang mendukung sampai yang menentang. Lebih banyak yang mendukung, antara lain karena masyarakat sedang kesal dengan kenaikan harga BBM yang dipandang mengancam kehidupan mereka. Terselip harapan, semoga bioetanol dapat menjadi bahan bakar alternatif yang lebih murah. Adapun yang menentang memberikan argumentasi beragam, mulai dari singkong yang rakus unsur hara, bioetanol berpotensi menjadi pesaing bahan pangan yang masih impor, sampai dengan ancaman terhadap keanekaragaman hayati karena pertanian monokultur untuk bahan baku etanol. Para penggemar otomotif menempuh cara bereaksi yang agak berbeda, mereka rela menempuh jarak ratusan kilometer untuk mendapatkan bioetanol puluhan liter, mencoba sendiri dan kemudian memberikan laporan lewat tabloid, email maupun sms. Tulisan ini tidak berpretensi untuk secara langsung merespons reaksi masyarakat, tetapi lebih merupakan upaya memberikan masukan kepada masyarakat, para anggota legeslatif maupun pengambil keputusan di Pemerintah, sebelum memilih (atau tidak memilih) bioetanol sebagai bahan bakar alternatif di masa depan. Kegunaan teknis bioetanol sebagai bahan bakar Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar, sesungguhnya seusia dengan perkembangan industri otomotif. Mobil Ford generasi pertama (Type T) merupakan mobil yang menggunakan bioetanol sebagai bahan bakar. Sejak bensin diproduksi dengan harga murah pasca Perang Dunia II, bioetanol tersisih karena harganya tidak cukup kompetitif. Krisis minyak pada tahun 1970-an mengangkat kembali bioetanol sebagai bahan bakar alternatif di AS, Brazil dan beberapa negara Asia dan Eropa. Bioetanol bersifat multi-guna karena dicampur dengan bensin pada komposisi berapapun memberikan dampak yang positif. Pencampuran bioetanol absolut sebanyak 10 % dengan bensin (90%), sering disebut Gasohol E-10. Gasohol singkatan dari gasoline (bensin) plus alkohol (bioetanol). Etanol absolut memiliki angka oktan (ON) 117, sedangkan Premium hanya 87-88. Gasohol E-10 secara proporsional memiliki ON 92 atau setara Pertamax. Pada komposisi ini bioetanol dikenal sebagai octan enhancer (aditif) yang paling ramah lingkungan dan di negara-negara maju telah menggeser penggunaan Tetra Ethyl Lead (TEL) maupun Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE). Pelarangan MTBE merupakan topik hangat dalam pembahasan Energy Bill di Kongres dan Senat negara-negara bagian di AS.
BAB III
METODOLOGI
Tempat dan waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan dilaboratorium kimia Universitas Negeri Gorontalo selama 4 bulan. Sampel di peroleh dari pabrik gula Tolangohula Kec.Lakeya
Prosedur kerja
Pretreatment
Pretreatment berfungsi untuk mendegradasi ampas menjadi komponen selulosa, lignin, dan hemiselulosa.
Sakarifikasi
Pada sakarifikasi, selulosa dihidrolisa menjadi gula (glukosa) yang akan menjadi bahan baku fermentasi
Fermentasi
Unit fermentasi berfungsi untuk mengubah nira jernih menjadi etanol, melalui aktivitas fermentasi ragi. Jumlah unit fermentasi biasanya terdiri dari beberapa unit (batch) atau system kontinyu tergantung kepada kondisi dan kapasitas pabrik. Beberapa nutrisi ditambahkan untuk optimalisasi proses. Etanol yang terbentuk dibawa ke dalam unit destilasi
Destilasi
Unit destilasi berfungsi untuk memisahkan etanol dari cairan lain khususnya air. Unit ini juga terdiri dari beberapa kolom destilasi. Etanol yang dihasilkan biasanya memiliki kemurnian sekitar 95-96%. Proses pemurnian lebih lanjut akan menghasilkan etanol dengan tingkat kemurnian lebih tinggi (99%/ethanol anhydrous), yang biasanya digunakan sebagai campuran ” unleaded gasoline” menjadi gasohol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar